Jumat, 17 Februari 2012

Pengelolaan sampah Mandiri


Sampah adalah masalah klasik yang tak pernah habis untuk dibahas. Apalagi di negeri dengan jumlah penduduk lebih dari 200 juta jiwa yang sebagian besar acuh tak acuh terhadap masalah sampah. Membuang sampah di sembarang tempat sepertinya telah menjadi budaya masyarakat kita. Di tempat-tempat yang menjadi pusat keramaian, sampah tak pelak menjadi pemandangan tak sedap yang bisa mengurangi kenyamanan. Meski telah disediakan tempat sampah, masyarakat kita cenderung lebih suka membuang sampah sesuka hati. Bahkan pengemudi atau penumpang mobil sering membuang sampahnya ke jalanan.
Volume sampah yang membengkak seiring bertambahnya jumlah penduduk akan semakin membebani bumi kita. Jika setiap orang membuang sampah satu kantong plastik setiap hari, maka Indonesia bisa menghasilkan 200 juta lebih kantong plastik sampah setiap harinya. Bagaimana dengan seminggu? Sebulan? Setahun? Jika tidak dikelola dengan baik lama kelamaan gundukan sampah itu akan menjadi bom waktu yang siap meledak sewaktu-waktu.
Tanggung jawab pengelolaan sampah tak hanya menjadi beban pemerintah. Kita pun bisa berpartisipasi untuk mengurangi volume sampah dengan mengelolanya secara mandiri dimulai dari rumah.


Penguatan Kelembagaan


Sejarah mencatat ,pola-pola pembangunan sentralistis secara sistematis mampu mematikan inisiatif dan institusi masyarakat ( lokal )yang ada.Hal ini ditandai dengan di berlakukanya penyeragaman bentuk institusi dari atas ke bawah,dari pusat ke daerah.Berbagai institusi yang berbeda degan yang di berlakukan ,meski memiliki basis kuat di tingkat masyarakat akar rumput,tidak mendapat pengakuan secara legal formal.Demikian pula halnya segala bentuk aliansi atau jaringan ( networking ) kersaja sama antara institusi masyarakat akar rumput tersebut.
Dominasi terpusat dari pihak luar atas segala aspek kehidupan masyarakat demikian kuatnya sehingga memperlemah kedudukan masyarakat sebagai pelaku utama pembangunan .Berbagai institusi yang di maksudkan sebagai wadah partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan suatu peroyek pembangunan,pada kenyataanya lebih mengutamakan kepentingan pemilik atau pelaksana peroyek,tampa memiliki tanggung jawab moral yang kuat terhadap kepentingan masyarakat miskin itu sendiri.singkatnya,institusi bentukan tersebut baru sebatas organ peroyek , dan belum mewujud menjadi institusi yang benar - benar menjadi tumpuan aspirasi,inisiatif,maupun kontrol masayrakat terhadap masalah kemiskinan dan pembangunan di wilayahnya.
Masyarkat akhirnya benar-benar menjadi objek dan bukan lagi pelaku utama serta pemilik kedaulatan,melainkan hanya di jadikan pengikut dari golongan atau elit-elit tertentu yang bertingkah laku sebagai pemilik kedaulatan,perpecahan masyarakat dalam golongan -golongan semakin tajam,seiring semakin memudarnya perekat kehidupan masyarakat dalam bentuk tatanan nilai luhur setempat, baik yang berkaitan dengan nilai-nilai kemanusiaan maupun nilai -nilai kemasyarakatan.
Pudarnya perekat berupa tatanan nilai-nilai kemanusiaan dan kemasyrakatan tersebut yang pada akhirnya menumbuhkan kondisi lemahnya atau ketidakberdayaan posisi masyarakat ,lunturnya solidaritas dan kesatuan sosial yang menyebabkan pengkotak - kotakan masyarakat untuk kepentingan golongan atau elit-elit tertentu saja.serta hilangnya kedaulatan rakyat secara nyata.maka tidak mengherankan kalau kemiskinan meraja lela disebabkan terjadinya konsenterasi kekuasaan dan sumber daya elit-elit tertentu saja.situasi ini diperburuk dengan terjadinya kerisis berkepanjangan yang melanda indonesia ,yang tidak sajah menambah jumlah penduduk miskin ,yang akhirnya meninkatkan kerawanan sosial dan mempercepat peroses fragmentasi masyarakat.
Dalam situasi seperti ini ini , maka kehadiran masyarakat warga (civil society ) menjadi tidak saja penting, tetapi sangat urgen sebagai suatu tatanan baru hidup bermasyarakat,dimana masyrakat berhimpun atas perakarsa sendiri,bekerja sama dan secara damai berupaya memenuhi kebutuhan atau kepentingan bersama, dengan tetap menghargai hak orang lain untuk berbuat yang sama dan tetap mempertahankan kemerdekaannya ( otonomi ) terhadap institusi pemerintah,politik,meliter,agama,usaha/pekerjaan dan keluarga.Tatanan baru hidup bermasyarakat tersebut tumbuh berkembang kembali berdasarkan nilai-nilai kemanusiaan dan nilai-nilai kemasyarakatan.
Sejak masa reformasi di mulai ,banyak upaya dari berbagai pihak untuk memulihkan kembali kedudukan dan peran masyarakat dalam tatanan berbansa dan bernegara serta menciptakan kepemerintahan yang baik (good governance ) upaya -upaya tersebut diwujudkan dalam bentuk membangun masyrakat warga (civil society ) sebagai jawaban atas lemahnya atau ketidak berdayaan posisi masyarakat,lunturnya solidaritas dan kesatuan, serta hilangnya kedaulatan rakyat secara nyata dalam pembangunan bangsa dan negara.


Twitter Delicious Facebook Digg Favorites More